JOAN JOAN GERALD

Sabtu, 09 Januari 2010

Teladan Dari Sang RAJA


Lebih dari satu abad yang lampau, sebuah peristiwa penting di Sumatera telah menggegerkan Gubernur Jenderal Belanda di Istana Bogor. Peristiwa itu adalah tertembaknya Si Singamangaraja XII oleh pasukan marsose dalam sebuah pertempuran di sebuah hutan di Dairi.
Tertembaknya Si Singamangaraja XII adalah berita yang penting dan paling ditunggu-tunggu Kolonial Belanda pada masa itu, mengingat masa perlawanan Sang Raja telah mencapai 30 tahun, sebuah masa perlawanan yang telah mengakibatkan kelelahan yang luar biasa bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Selama rentang waktu itu, seluruh strategi perang yang dimiliki Kesatuan Militer Belanda telah digunakan, namun gagal untuk menaklukkan pasukan gerilya Sang Raja.

Pada 32 tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1875, Patuan Bosar, putra kedua dari Si Singamangaraja XI, diangkat menjadi Raja Si Singamangaraja XII dalam usia 17 tahun, usia yang relatif masih sangat muda untuk memimpin kaum yang memiliki aturan peradatan yang sangat kompleks namun sistematis. Kala itu setelah melalui perdebatan panjang akibat pro dan kontra masalah usia, iapun diangkat menjadi raja karena mampu secara meyakinkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan para pemimpin adat dengan keberhasilannya menurunkan hujan pada musim panas.

Perlu diketahui bahwa pengakuan atas kedudukan Si Singamangaraja sebagai Raja berbeda dengan kedudukan seorang Raja pada umumnya. Si Singamangaraja bukanlah seorang Raja yang memiliki posisi kesakralan tunggal karena tidak memiliki istana ataupun singgasana. Porsi kepemimpinannya hanyalah sebatas menjadi penyatu antar raja-raja huta (kampung) dan tetua-tetua marga. Hal ini menjadikan seorang Si Singamangaraja merupakan sosok yang paling sentral dalam harmonisasi kehidupan sosial orang Batak.
Itulah sebabnya mengapa setelah pengangkatan tersebut, banyak kemudian masyarakat yang menjadi ragu, apakah seorang remaja sanggup memimpin dan menyatukan kaum yang heterogen itu. Namun kemudian waktu yang membuktikan bahwa pilihan tersebut ternyata tidak salah, karena hanya dalam kurun waktu 2 tahun, Sang Raja mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin seluruh kaum adat dan agamawan di Tanah Batak.

Program pertama yang dilaksanakannya adalah berusaha menyelesaikan masalah perselisihan dalam kubu kaum adat sekaligus menyatukan mereka. Persoalan ini menjadi prioritas pertama karena ia yakin bahwa dukungan yang kuat dari masyarakat serta bersatunya orang-orang yang memiliki pengaruh akan memudahkan program-program kerja selanjutnya. Ia melakukannya dengan belajar dari orang yang lebih kuat dan membimbing orang yang lebih lemah. Melalui usaha yang keras dan tak kenal lelah, dengan cepat Sang Raja berhasil menjalankan program tersebut yang secara tidak langsung telah membuatnya menjadi orang paling dikagumi di seluruh Tanah Batak pada masa itu.

Upayanya untuk merangkul seluruh pemeluk agama merupakan kebijakannya yang kedua. Tanpa mengalami banyak kesulitan berarti ia mampu menyatukan para penganut Nasrani, Islam dan Kaum Para Malim dalam pengaruh kekuasaannya. Pada masa itu Kaum Nasrani dan Islam masih merupakan kaum minoritas yang sering mendapat diskriminasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan pengaruhnya yang begitu kuat dan memberi teladan yang baik, Sang Raja mampu menerapkan toleransi yang sangat tinggi diantara para penganut agama dan kepercayaan tersebut. Begitu teladannya ia, bahkan hingga saat ini diantara budayawan dan ahli sejarah masih kesulitan untuk menentukan apa sebenarnya agama atau kepercayaan yang dianut oleh Si Singamangaraja XII.

Setelah yakin bahwa ia telah memiliki pengaruh yang sangat kuat di Tanah Batak, akhirnya dengan gagah berani Si Singamangaraja XII menyatakan perang terhadap Belanda pada tahun 1877. Ini dilakukannya semata-mata karena ketidaksenangannya atas pendudukan Belanda yang mengakibatkan turunnya nilai-nilai kemanusiaan dalam komunitasnya. Pada usia masih 19 tahun, ia telah matang menjadi seorang pemimpin perang dan pengatur strategi. Kematangan itu salah satunya terlihat dari kepiawaiannya melakukan perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Aceh dan Minang yang menjadikan pasukan perangnya menjadi kuat dan dengan teguh menolak setiap tawaran berunding setelah mempelajari kegagalan perundingan di daerah lain. Bahkan strategi politik devide et impera yang dengan gemilang berhasil diterapkan Belanda di daerah lain pun mampu dimentahkannya dengan cara melakukan korespondensi ke seluruh raja-raja kampung.

Selama perang hingga tahun 1907, Si Singamangaraja XII tetap mampu menjaga eksistensi kebesarannya di mata rakyat meskipun ia sendiri tidak pernah menetap di satu tempat dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tidak lepas dari kebijakannya mendukung putra-putrinya turun langsung ke medan pertempuran daripada membiarkan mereka tinggal dalam kenyamanan perlindungan para pengawal.
Setelah memberi perlawanan yang sangat hebat selama bertahun-tahun, akhirnya Sang Raja tewas pada tanggal 17 Juni 1907 di hutan yang sangat terpencil dan berjurang bersama dengan 3 orang anaknya. Ia tewas setelah terkepung dalam sebuah pertempuran hebat selama berjam-jam. Di depan opsir marsose ia hanya tersenyum menggelengkan kepala ketika diminta untuk menyerahkan diri. Pada akhir hayatnya, sesaat setelah ia ditembak dari jarak sangat dekat, ia mengucapkan kalimat heroik yang sangat dikenal sampai saat ini ,”Akulah Sisingamangaraja.”

Setelah 101 tahun wafatnya Si Singamangaraja XII, misteri akan kharisma, kecerdasan, kekuatan dan keberanian yang ditunjukkannya selama menjadi pemimpin masih sangat menarik untuk dipelajari.
Ia bukanlah anak sulung, namun ia mampu mendobrak tradisi untuk meraih kepemimpinan dalam usia yang masih sangat muda dan sekaligus menjadi “imam” bagi orang Batak, dan ia membuktikannya dengan cara-cara yang sangat cerdas. Ia sangat dihormati oleh semua kalangan, bahkan oleh musuhnya sekalipun.

Penulis yakin teladan yang ditunjukkan oleh Si Singamangaraja XII banyak tumbuh dari calon pemimpin-pemimpin muda kita pada saat ini. Tinggal bagaimana kemampuan mereka ditunjukkan melalui cara-cara yang mulia dan tidak gampang putus asa. Belajarlah dari Pahlawan kita, dan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” itu kata Bung Karno. Bangkitlah Pemimpin Muda Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar