JOAN JOAN GERALD

Kamis, 14 Januari 2010

Berbahasa batak yang Indonesia dan Benar


Ada cerita teman kos saya dulu ketika seorang rekan kerjanya (sebut saja namanya Joko) ditugaskan oleh Pimpinan untuk menghadiri rapat penting dengan sekelompok pemodal asing di Kota Medan, teman saya yang lain (sebut saja namanya Ucok) yang kebetulan berasal dari kota itu menitipkan sebuah paket oleh-oleh untuk diserahkan pada orang tuanya disana. Ini adalah perjalanan pertama Joko ke kota Medan. Setiba di Medan Joko segera mengantarkan paket tersebut karena khawatir kelupaan apabila menunda keesokan harinya. Sekedar berbasa-basi Joko singgah sebentar untuk sekedar ngobrol dengan orangtua si Ucok ini.

Kelucuan terjadi ketika si orang tua menanyakan status Joko apakah sudah menikah atau belum. Saat itu Joko dengan enteng menjawab,”Saya bujang, om”. Sontak orangtuanya si Ucok terdiam dan beberapa saat memandang dengan tajam si Joko ini. Merasa tidak enak hati, Joko lalu bertanya apakah ada yang salah dengan jawabannya tersebut. Orangtua si Ucok pun dengan rasa tidak nyaman memberitahu bahwa kata bujang dalam bahasa Batak dapat berarti “kemaluan”. Kemudian Joko-pun buru-buru minta maaf dan menjelaskan bahwa dia tidak mengetahui perihal tersebut. Mendengar itu suasanapun menjadi cair dan bapak si Ucok-pun segera maklum mengingat tamunya tersebut adalah orang Jawa, wajar bila dia memberi jawaban yang mengagetkan jantungnya itu..

Memang, beberapa kata dalam bahasa Indonesia terdengar menjadi sesuatu berbeda, bahkan aneh, apabila didengar dengan telinga orang Batak. Ambil saja contoh kata “dia” (kata ganti orang ketiga tunggal) yang dalam bahasa Batak berarti “mana”, kata lereng (tempat di kaki gunung) yang berarti sepeda; kata tua (berusia lebih lama) yang berarti “berkat/bijak; kata buat (bagi/untuk/kepada) yang berarti “ambil” atau bolong (kosong/tembus) yang berarti “terbuang”.

Kata-kata berbeda frasa tersebut akan lebih menarik bila dibuat dalam satu kalimat, contoh “rintik air hujan” (Rintik dalam bahasa Batak berarti “gila”). Di Tanah Batak anda jangan sekali-kali mencari yang namanya tukang urut, selain anda tidak akan menemukannya, anda juga akan dipelototi orang lain. Bila anda ingin mencari tukang urut, carilah dengan menyebut tukang pijat atau dalam bahasa daerahnya disebut pandappol. Mengapa demikian? Karena dalam bahasa Batak umum kata urut berarti pantat; maka bayangkan saja apa yang akan terjadi bila ada orang luar daerah tersebut yang mahir memijat lantas mempromosikan dirinya disana sebagai seorang “tukang urut”.
Ada satu kata yang beberapa tahun lalu sangat populer di masyarakat karena merupakan branded khas suatu merek minuman kesehatan, yaitu kata “biang” yang dalam bahasa Indonesia berarti induk/ahli/jagoan Saya teringat pada masa itu perusahaan minuman tersebut pernah mengadakan pemilihan “generasi biang” untuk orang muda yang terbaik di bidangnya. Pada saat pengumuman pemilihan tersebut, saya bisa pastikan banyak sekali orang Batak yang geli sekaligus seram membacanya karena dalam bahasa Batak kata “biang” berarti “anjing”. Maka ketika di stasiun televisi diumumkan siapa-siapa saja yang menjadi generasi biang tersebut, keluarga saya di rumah tertawa terbahak-bahak menyaksikannya karena anda tahu sendiri apa yang tersirat di benak kami pada saat itu. Kelucuan makin menjadi-jadi ketika ternyata ada seorang selebritis yang juga orang Batak yang mendapat gelar “generasi biang” tersebut.

Kalau kita lihat di Jakarta ada perusahaan angkutan dengan nama “bianglala” (pelangi), maka kata ini menjadi lebih lucu, karena kata lala merupakan bahasa pendek dari kata ilala yang berarti “rasa”. Jadi silahkan saja anda konotasikan sendiri makna kedua kata tersebut (biang dan lala) kalau digabung.

Bila anda pergi berjalan-jalan ke pasar tradisional di daerah Toba, anda akan sering mendengar kata gadis (wanita yang belum menikah) dan kata tiga-tiga (angka 3 dan 3) karena kata gadis artinya “jual” dan tiga-tiga berarti “barang dagangan”. Juga jangan heran bila suatu saat mendengar seorang bapak mengaku punya anak 3 padahal anaknya ada 5, karena dalam bahasa Batak kata anak hanya digunakan untuk menyebutkan “anak laki-laki”, sedangkan anak perempuan disebut “boru” dan bukan anak.

Namun jangan dikira hanya Bahasa Indonesia saja yang memiliki arti unik dalam bahasa Batak, sebaliknyapun demikian. Anda tidak akan pernah ditegur meskipun berulang-ulang kali menyebut kata beha di depan orangtua, karena disana kata beha berarti “bagaimana” (beha/bea/boha).
Dalam bahasa Batak sub Mandailing, kata mamak (ibu) justru mempunyai pengertian “paman” atau kata ulang (melakukan lagi) yang berarti “jangan”.

Kembali kepada si Joko tadi, akhirnya selama seminggu berada disana dia membawa staf kantor wilayah mereka disana untuk memandunya, karena khawatir kejadian bujang itu akan terulang kembali.

Islam yang kukenal ..


Islam yang kukenal adalah yang pada awalnya setiap hari dikumandangkan oleh Pengajian Kak Tetty di sebelah rumahku di Padangsidimpuan dulu awal 80'an. Setiap hari Kamis malam tak jenuh dan penuh semangat teman-teman sebayaku yang imut-imut melantunkan ayat-ayat Alquran. Dan setiap kali selesai Pengajian, Suara Kak Tetty yang halus selalu terdengar manis saat menasehati anak-anak didiknya. Kak Tetty memang adalah juara MTQ tingkat kecamatan di kota kecilku itu. Kak Tetty hampir setiap pagi menyapa kami dengan santun dan bersahabat, hal yang mana membuat orangtuaku begitu menyenangi sosok wanita muda itu.
Meski sebenarnya tidak pernah mengganggu, tapi tak lupa Kak Tetty tiap Jumat pagi meminta maaf kalau anak-anak didiknya terasa berisik malam sebelumnya. Selama 2 tahun dilingkungan itu, Kak Tetty yang sangat muda (menurutku) untuk ukuran Guru mengaji itu tak pernah lupa memberi penganan hasil pemberian anak didiknya kepada kami.

Islam yang kukenal adalah yang kemudian menjadi sahabat-sahabat dekatku di pertengahan tahun 80'an di Batunadua, kecamatan paling ujung Kota Padangsidimpuan. Mereka yang oleh orangtuanya dididik untuk selalu menolong, tak pernah menyakitiku dalam bermain, mereka selalu menemani kami yang minoritas dalam pergaulan, mereka yang begitu setia mendampingi kami saat diganggu oleh anak Kampung sebelah, mereka yang sangat setia kawan tak membedakan satu dengan yang lainnya, mereka yang tak pernah curiga pada omongan kami mengenai Gereja dan kebaktian, mereka yang memiliki satu bahasa dengan kami mengenai arti sahabat adalah separuh darah.

Islam yang kukenal adalah yang kemudian menjadi guru dan pengajarku di akhir 80'an dan awal 90'an di sekolah. Mereka adalah pendidik yang tak pernah membedakan anak didiknya, memuji disaat aku unggul dan mengkritik di saat aku salah. Mereka yang tak pernah bosan menanamkan budi pekerti dan kemandirian di sekolah, mereka yang tak pernah bosan marah disaat aku tertangkap tangan sedang nakal, merokok, bolos dan lainnya. Dari mereka aku bisa tahu bahwa hidup mereka adalah sama dengan aku.

Islam yang kukenal adalah yang kemudian aku lirik dari para pembesar-pembesar negeri. Sungguh aku mengagumi Islam seperti Nurcholish Madjid, Mustofa Bisri, Emha Kyai Kanjeng, Azyumardi Azra, Solahuddin Wahid, Abdullah Gymnastiar, Alwi dan Quraish Shihab dan tentu saja orang yang paling kukagumi ABDURRAHMAN WAHID. Mereka membuatku merasa nyaman hidup di negeri ini, membuatku merasa mencintai negeri ini lebih dalam.. Mereka tak berjenggot dan tak berjubah, mereka tak berlafal dan berlogat arab, mereka tak suka hingar bingar bicara ayat, tapi mereka memiliki porsi yang baik di mata orang Islam lainnya.

Tapi kemudian muncul Islam yang tak kukenal sama sekali dalam diri Habib Rizieq, Noordin M Top, Abu Bakar Baasyir, Hambali, Azahari, Imam Samudra, Amrozy, dan lainnya .. Mereka berjenggot, berjubah, berlogat dan lafal arab, suka sekali akan hingar-bingarnya ayat suci, tapi aku sungguh ngeri membayangkan bila berdekatan dengan mereka.

Sungguh aku bingung sekarang .. apakah Islam yang kukenal selama ini salah atau memang ada Islam baru di negeri ini ....

Katakan padaku bila engkau menemukanNYA

Katakanlah bila,
saat engkau merasa dekat dengan kesulitan dan kepedihan
saat hatimu berontak pada jalur hidup yang dipagar Tuhan untukmu
apakah engkau benar menemukanNYA
atau hanya sentimentilnya hatimu yang merasakannya?

Katakanlah bila,
saat engkau berada di puncak tertinggi hidupmu
saat hatimu merasa penuh kegirangan pada nikmat yang diberikan Tuhan untukmu
apakah engkau benar menemukanNYA
atau hanya sentimentilnya hatimu yang merasakannya?

Katakanlah bila saat ini engkau merasakan kenikmatan hidup
apakah Tuhan yang bersemayam melalui sesamamu engkau rasakan kehadiranNYA
sungguh apakah engkau merasakannya?


Maka janganlah sentimentil
ketika Tuhan menentukan engkau harus kepayahan dalam penderitaanmu
Dia hanya menyaksikan kepedihanmu dari sampingmu
karena sesungguhnya hatiNYA lebih pedih atas perbuatanmu padaNYA
karena engkau harus disesa atas penduaanmu pada kehadiranNYA ...

Sabtu, 09 Januari 2010

Teladan Dari Sang RAJA


Lebih dari satu abad yang lampau, sebuah peristiwa penting di Sumatera telah menggegerkan Gubernur Jenderal Belanda di Istana Bogor. Peristiwa itu adalah tertembaknya Si Singamangaraja XII oleh pasukan marsose dalam sebuah pertempuran di sebuah hutan di Dairi.
Tertembaknya Si Singamangaraja XII adalah berita yang penting dan paling ditunggu-tunggu Kolonial Belanda pada masa itu, mengingat masa perlawanan Sang Raja telah mencapai 30 tahun, sebuah masa perlawanan yang telah mengakibatkan kelelahan yang luar biasa bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Selama rentang waktu itu, seluruh strategi perang yang dimiliki Kesatuan Militer Belanda telah digunakan, namun gagal untuk menaklukkan pasukan gerilya Sang Raja.

Pada 32 tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1875, Patuan Bosar, putra kedua dari Si Singamangaraja XI, diangkat menjadi Raja Si Singamangaraja XII dalam usia 17 tahun, usia yang relatif masih sangat muda untuk memimpin kaum yang memiliki aturan peradatan yang sangat kompleks namun sistematis. Kala itu setelah melalui perdebatan panjang akibat pro dan kontra masalah usia, iapun diangkat menjadi raja karena mampu secara meyakinkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan para pemimpin adat dengan keberhasilannya menurunkan hujan pada musim panas.

Perlu diketahui bahwa pengakuan atas kedudukan Si Singamangaraja sebagai Raja berbeda dengan kedudukan seorang Raja pada umumnya. Si Singamangaraja bukanlah seorang Raja yang memiliki posisi kesakralan tunggal karena tidak memiliki istana ataupun singgasana. Porsi kepemimpinannya hanyalah sebatas menjadi penyatu antar raja-raja huta (kampung) dan tetua-tetua marga. Hal ini menjadikan seorang Si Singamangaraja merupakan sosok yang paling sentral dalam harmonisasi kehidupan sosial orang Batak.
Itulah sebabnya mengapa setelah pengangkatan tersebut, banyak kemudian masyarakat yang menjadi ragu, apakah seorang remaja sanggup memimpin dan menyatukan kaum yang heterogen itu. Namun kemudian waktu yang membuktikan bahwa pilihan tersebut ternyata tidak salah, karena hanya dalam kurun waktu 2 tahun, Sang Raja mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin seluruh kaum adat dan agamawan di Tanah Batak.

Program pertama yang dilaksanakannya adalah berusaha menyelesaikan masalah perselisihan dalam kubu kaum adat sekaligus menyatukan mereka. Persoalan ini menjadi prioritas pertama karena ia yakin bahwa dukungan yang kuat dari masyarakat serta bersatunya orang-orang yang memiliki pengaruh akan memudahkan program-program kerja selanjutnya. Ia melakukannya dengan belajar dari orang yang lebih kuat dan membimbing orang yang lebih lemah. Melalui usaha yang keras dan tak kenal lelah, dengan cepat Sang Raja berhasil menjalankan program tersebut yang secara tidak langsung telah membuatnya menjadi orang paling dikagumi di seluruh Tanah Batak pada masa itu.

Upayanya untuk merangkul seluruh pemeluk agama merupakan kebijakannya yang kedua. Tanpa mengalami banyak kesulitan berarti ia mampu menyatukan para penganut Nasrani, Islam dan Kaum Para Malim dalam pengaruh kekuasaannya. Pada masa itu Kaum Nasrani dan Islam masih merupakan kaum minoritas yang sering mendapat diskriminasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan pengaruhnya yang begitu kuat dan memberi teladan yang baik, Sang Raja mampu menerapkan toleransi yang sangat tinggi diantara para penganut agama dan kepercayaan tersebut. Begitu teladannya ia, bahkan hingga saat ini diantara budayawan dan ahli sejarah masih kesulitan untuk menentukan apa sebenarnya agama atau kepercayaan yang dianut oleh Si Singamangaraja XII.

Setelah yakin bahwa ia telah memiliki pengaruh yang sangat kuat di Tanah Batak, akhirnya dengan gagah berani Si Singamangaraja XII menyatakan perang terhadap Belanda pada tahun 1877. Ini dilakukannya semata-mata karena ketidaksenangannya atas pendudukan Belanda yang mengakibatkan turunnya nilai-nilai kemanusiaan dalam komunitasnya. Pada usia masih 19 tahun, ia telah matang menjadi seorang pemimpin perang dan pengatur strategi. Kematangan itu salah satunya terlihat dari kepiawaiannya melakukan perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Aceh dan Minang yang menjadikan pasukan perangnya menjadi kuat dan dengan teguh menolak setiap tawaran berunding setelah mempelajari kegagalan perundingan di daerah lain. Bahkan strategi politik devide et impera yang dengan gemilang berhasil diterapkan Belanda di daerah lain pun mampu dimentahkannya dengan cara melakukan korespondensi ke seluruh raja-raja kampung.

Selama perang hingga tahun 1907, Si Singamangaraja XII tetap mampu menjaga eksistensi kebesarannya di mata rakyat meskipun ia sendiri tidak pernah menetap di satu tempat dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tidak lepas dari kebijakannya mendukung putra-putrinya turun langsung ke medan pertempuran daripada membiarkan mereka tinggal dalam kenyamanan perlindungan para pengawal.
Setelah memberi perlawanan yang sangat hebat selama bertahun-tahun, akhirnya Sang Raja tewas pada tanggal 17 Juni 1907 di hutan yang sangat terpencil dan berjurang bersama dengan 3 orang anaknya. Ia tewas setelah terkepung dalam sebuah pertempuran hebat selama berjam-jam. Di depan opsir marsose ia hanya tersenyum menggelengkan kepala ketika diminta untuk menyerahkan diri. Pada akhir hayatnya, sesaat setelah ia ditembak dari jarak sangat dekat, ia mengucapkan kalimat heroik yang sangat dikenal sampai saat ini ,”Akulah Sisingamangaraja.”

Setelah 101 tahun wafatnya Si Singamangaraja XII, misteri akan kharisma, kecerdasan, kekuatan dan keberanian yang ditunjukkannya selama menjadi pemimpin masih sangat menarik untuk dipelajari.
Ia bukanlah anak sulung, namun ia mampu mendobrak tradisi untuk meraih kepemimpinan dalam usia yang masih sangat muda dan sekaligus menjadi “imam” bagi orang Batak, dan ia membuktikannya dengan cara-cara yang sangat cerdas. Ia sangat dihormati oleh semua kalangan, bahkan oleh musuhnya sekalipun.

Penulis yakin teladan yang ditunjukkan oleh Si Singamangaraja XII banyak tumbuh dari calon pemimpin-pemimpin muda kita pada saat ini. Tinggal bagaimana kemampuan mereka ditunjukkan melalui cara-cara yang mulia dan tidak gampang putus asa. Belajarlah dari Pahlawan kita, dan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” itu kata Bung Karno. Bangkitlah Pemimpin Muda Indonesia.

Teknologi Pertanian sebagai Solusi Krisis Pangan


Ketika masih duduk di bangku kelas I SMU (ketika itu SMA) di Padangsidimpuan, kami memiliki guru mata pelajaran Biologi yang bernama Pak Hasibuan. Beliau bukanlah seorang pakar Pangan atau Pertanian, hanyalah seorang guru biasa yang juga mempunyai profesi sampingan sebagai tukang becak untuk menambah pendapatan keluarganya. Saya teringat ketika pada suatu hari saat sedang mengajarkan mengenai reproduksi tanaman, beliau mengatakan bahwa suatu saat, tidak lama dari sekarang, orang akan lebih suka memikirkan uang dan mesin daripada memikirkan tanaman yang bisa dimakannya. Pada masa dimana tanaman dan hewan sudah tidak dapat lagi dikonsumsi, pada saat itu pulalah manusia baru akan tersadar bahwa mesin dan uang tidak dapat digunakan untuk makan demi mempertahankan hidupnya. Hingga kini saya masih selalu terngiang perkataan beliau tersebut, terlebih melihat perkembangan situasi dunia sekarang, sepertinya apa yang disampaikannya dulu semakin mendekati kenyataan. Pernyataan ini sebenarnya hampir sejalan dengan Teori Pertumbuhan Penduduk yang diungkapkan Malthus, hanya saja Malthus lebih menyorot efek dari pertumbuhan penduduk yang pesat daripada pertumbuhan pangan yang melambat.

Ketika pernyataan itu disampaikan Pak Hasibuan, pada saat yang sama Bangsa Indonesia sedang berada dalam puncak keemasan produksi tanaman pangan, panen raya terjadi dimana-mana, surplus persediaan bahan makanan pokok mencapai angka tertinggi, dan posisi kita sedang bersiap (atau bahkan sudah) menjadi Macan Asia dibidang pertanian. Tidak ada seorang anak sekolah-pun yang tidak kenal istilah Palawija, Gogo Rancah, Sawah Tadah Hujan, Subak dan istilah lainnya yang menunjukkan betapa bangsa kita di bidang pertanian mampu melakukan apapun, menghasilkan tanaman pangan apa saja, di lokasi manapun meski dalam kondisi bagaimanapun buruknya. Kala itu tentu saja saya dan teman-teman sekelas tidak sedikitpun menanggapi dengan serius perkataan beliau, tidak ada reaksi apapun dari kami muridnya selain melihat dengan pandangan sinis dan dingin. Dengan kondisi gemah ripah loh jinawi itu, bagaimana mungkin manusia bisa kehabisan pangan? begitu yang ada di benak saya. Sedikitpun tidak ada keyakinan pada kami bahwa suatu saat manusia akan krisis dan bahkan mungkin akan kehabisan bahan pangan.

Mungkin saya hanya satu dari begitu banyak manusia di negara ini, atau bahkan di penjuru dunia, yang begitu yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja. Pertanian sudah ada yang mengurus di tempat lain, kita tidak merasa perlu untuk mengkhawatirkan akan kekurangan bahan pangan, toh petani, peternak dan nelayan masih banyak. Kita lebih suka mencari jalan untuk hidup sejahtera dengan bekerja di bidang yang lain, misalnya di bidang industri mesin atau elektronik, entertain, politik atau bahkan birokrasi karena jelas lebih menjanjikan dibandingkan menjadi petani atau nelayan.
Sepertinya hal yang sama juga ada di benak orang lain, sehingga secara tidak sadar kita telah melihat begitu tajamnya pertumbuhan manusia yang berpindah ke perkotaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan meninggalkan lahan tani dan perahu ikannya di desa asalnya.

Secara perlahan tapi pasti, orang-orang mulai gerah karena pola hidup konsumerisme telah mengubah pemikiran akan pentingnya gengsi dari sebuah pekerjaan dan gaya hidup, bukan hanya pada dirinya, tapi juga diajarkan secara berkesinambungan terhadap anak-anaknya. Jangankan para karyawan, para petani-pun sudah enggan untuk mendidik anaknya untuk menjadi petani juga. Bangsa kita telah secara berkala berubah menjadi manusia yang lebih mengagumi pekerjaan dengan pegangan laptop daripada cangkul atau jala, mengendarai mobil pribadi daripada mengendalikan mesin bajak atau mendayung perahu, melepaskan penat di café daripada di bale-bale, dan berbagai macam identitas keunggulan kemapanan lainnya yang sebenarnya adalah efek dari globalisasi gaya hidup materialisme yang diusung dunia sejak meletusnya revolusi industri abad 19 dulu. Akibatnya, peminat untuk berprofesi dibidang pertanian kian merosot tajam hingga secara teori dapat dipastikan produksi panganpun menurun drastis, sementara konsumen pangan bertambah berkali-kali lipat. Pada gilirannya adalah kenaikan harga pangan di negara kita yang sudah tidak dapat ditahan lagi, meski segala upaya telah dilakukan pemerintah untuk menstabilkannya, tapi tetap tak mampu dibendung.

Lalu bagaimana dengan negara? apakah negara telah berbuat salah dengan membiarkan warganya merubah pola hidup dari manusia produktif pangan menjadi produktif material?
Sepertinya apa yang saya pikirkan selama ini juga sama dengan apa yang ada di pikiran para pengatur kebijakan di negara kita. Negara telah membiarkan dirinya sendiri begitu lama terlena dalam mengejar status sosial di mata dunia sebagai negara maju dengan menggelontorkan uang begitu banyak untuk merayu investor asing menanamkan modalnya disini, menggerakkan sektor swasta untuk mengembangkan industri dan jasa serta berkonsentrasi penuh untuk melakukan perbaikan di bidang birokrasi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena bila itu berhasil, tidak ada yang lebih membanggakan bagi kita selain melihat Indonesia mendapat predikat sebagai Negara yang paling produktif dan tingkat pertumbuhan ekonominya terbaik.
Namun dibalik semua upaya itu, ternyata negara seakan-akan melupakan sektor yang sebenarnya jauh lebih menjanjikan untuk mengangkat pamor kita di mata bangsa lain dibanding mencoba ketertinggalan industri mesin, yaitu sector pertanian.
Pertanian telah dilupakan begitu lama. Kini kita tidak mendengar lagi safari dari desa ke desa untuk temu wicara dengan petani yang dulu dilakukan Soeharto dengan doyannya. Kalaupun terdengar beberapa kali adanya temu wicara, tidak lebih hanya sebuah dukungan moral bagi para petani untuk menghadapi permasalahannya, dan bukan memberi dukungan nyata dengan upaya pembangunan industri pertanian mereka

Mungkin bagi beberapa kalangan kalimat “industri pertanian” masih terdengar asing, namun ide ini sebenarnya sudah pernah dimunculkan pada awal tahun 80-an. Industri pertanian telah lama diberdayakan di negara-negara maju seperti Jepang dan Thailand. Secara sederhana sejak dulu kita telah mengenal industri pertanian melalui penanaman bibit unggul atau sistim penangkaran ikan di keramba. Di negara maju sendiri industri pertanian dengan memanfaatkan teknologi untuk peningkatan hasil pangan telah berkembang begitu pesat. Penguasaan atas teknologi pertanian dapat membantu masyarakat kita untuk mengembangkan industri pertanian. Beberapa kaum intelektual kita telah mencobanya dengan mengembangkan perkebunan hidroponik, penggunaan rumah kaca dan perkebunan organik, meskipun hampir seluruhnya dari mereka masih malu-malu untuk muncul di permukaan. Percaya atau tidak, dengan teknologi pertanian, bukan hal aneh bila didapatkan panen dari 1 batang tanaman tomat yang menghasilkan sampai 5 kg dengan hanya menggunakan media bilah bambu berukuran 20 cm dan berdiameter 10 cm. Dengan kemampuan produksi yang mengagumkan itu, semestinya pemerintah memang sudah harus mulai melirik teknologi pertanian dan menjadikan bidang pertanian sebagai salah satu motor industrinya yang baru. Dengan keteraturan panen hasil pertanian dan melimpahnya persediaan, secara teori sebenarnya harga bahan makanan dalam negeri tidak akan melambung tinggi seperti sekarang ini.

Bangsa kita memiliki banyak sekali sumber daya manusia yang memiliki kemampuan mumpuni di bidang teknologi pertanian, namun pada akhirnya mereka, (termasuk istri saya yang juga seorang Sarjana Teknologi Pertanian) kemudian beralih untuk mengambil profesi di bidang lain, karena minimnya pengembangan industri pertanian di negara kita menyebabkan mereka tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya. Sungguh disayangkan mengingat dunia pendidikan kita telah banyak menelurkan ahli-ahli teknologi pertanian justru kemudian tidak tertarik untuk menerapkannya karena tidak adanya dukungan. Hal ini berbanding lurus pula dengan keengganan pemerintah untuk menfokuskan dirinya pada bidang teknologi pertanian, sehingga impian untuk memiliki industri pertanian yang maju-pun semakin menjauh.

Ketika pada bulan-bulan terakhir ini kita mulai merasakan kurangnya pasokan pangan hingga membuat harganya melambung tinggi, kita masih tenang-tenang saja dan mengganggap bahwa hal tersebut dipicu oleh inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia dan resesi ekonomi global, sehingga yang perlu diselesaikan adalah meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. Gaung ketahanan pangan yang didengung-dengungkan tidak lebih dari slogan untuk menunjukkan bahwa stok pangan kita masih kuat, hanya daya beli masyarakat saja yang sedikit berkurang. Hanya sedikit dari kita yang setuju bahwa tingginya harga bahan makanan dikarenakan produksi bahan pangan yang memang sudah sangat jauh menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kemudian ketika FAO merilis bahwa ada sekitar 36 negara yang sedang krisis pangan atau setidaknya akan menghadapi krisis pangan, mata kita agak terbelalak terkejut karena ternyata Indonesia termasuk didalamnya. Presiden segera melakukan pertemuan dengan para petani untuk melakukan “konsolidasi” dan mengirimkan surat ke PBB untuk meminta dukungan moril atas terjadinya krisis pangan di dunia. Gaung kestabilan pangan kembali diteriakkan dan serentak konsentrasi segera beralih untuk membenahi kemampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga bahan pangan. Tapi, lagi-lagi tidak ada seorang pejabat pemerintahpun yang menggerakkan tangan untuk mulai mengangkat isu teknologi pertanian ke permukaan. Padahal jika saja dari dulu hal ini dilakukan, bukan tidak mungkin kita sekarang menjadi negara makmur karena menjadi lumbung pangan di saat dunia sedang krisis. Saat ini pengembangan industri pertanian memang agak terlambat bila harus dimulai, karena kita telah ada di garis krisis, tapi tentu saja lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan sama sekali.

Penerapan teknologi pertanian sendiri dapat dilakukan dengan cara pengembangan mekanisasi pertanian untuk memaksimalkan kekurangan tenaga buruh dibidang pertanian, pengembangan varietas unggul untuk mempersingkat umur produksi dan menciptakan hasil yang melimpah, pengembangan bioteknologi dan teknik hidroponik sebagai strategi pada lahan yang sempit, pengembangan teknik rumah kaca untuk menjaga ketahanan tanaman dari perubahan suhu dan kelembaban udara, pengembangan chemical syntetic untuk memudahkan konsumen dan pengembangan teknologi kerambah untuk mengatur jumlah ikan yang dapat ditangkap.

Negara kita memiliki lahan yang sangat luas, iklim yang menguntungkan, tanaman yang bervariasi, para ahli yang mumpuni dan tenaga kerja yang berlebih, lalu, apa lagi yang harus ditunggu? Pemerintah harus mulai memberi dukungan penuh pada sektor pertanian secepatnya selagi PBB sendiri sedang menyerukan diadakannya sebuah revolusi hasil pangan. Sebab bila tidak, kita tidak akan pernah mampu untuk menahan laju kenaikan harga pangan dunia yang semakin menggila. Untuk itu jangan pernah meremehkan teknologi untuk pengembangan industri pertanian, karena kemapanan pangan di negara maju adalah bukti sahih akan keberhasilan mereka dalam mengembangkan industri pertanian. Pemerintah pasti mampu karena yang dibutuhkan hanya sedikit perhatian saja pada sektor ini. Dengan demikian mudah-mudahan apa yang disampaikan Pak Hasibuan dulu tidak sampai terjadi pada bangsa ini, dan kita masih bisa tidur nyenyak untuk melupakan Teori Malthus yang menakutkan itu.

Jumat, 08 Januari 2010

Menjadi Bangsa Yang Lupa Diri


Seluruh Bangsa di dunia pada abad terakhir ini telah menjelma menjadi bangsa-bangsa yang kompetitif untuk menjaga eksistensi gengsinya dimata bangsa lain. Dengan tidak mengenal kasihan, dunia telah secara serius meninggalkan hampir seluruh budaya nenek moyangnya untuk mencapai kasta tertinggi di peradaban modern. Meskipun simbol peradaban masih tetap terjaga dengan baik, namun cagar-cagar dunia itu hanyalah sebagai simbol dari pernah bertenggernya suatu bangsa yang lebih maju pada kaum tersebut di masa lampau. Akibatnya, seluruh dunia tanpa terkecuali, menggerakkan roda kehidupannya dengan lebih cepat dan nyaris saja meninggalkan peradaban masa lalunya yang lebih berbudaya.

Prinsip suatu bangsa yang selalu ingin menjadi terdepan dan lebih superior dibanding bangsa lain secara perlahan telah begitu ganas menggilas nasib bangsa-bangsa yang lebih lemah sumber dayanya ke dalam posisi yang tidak berdaya. Bangsa yang lemah hanya bisa terpelongo dan kagum akan kemajuan bangsa lain. Ada yang berbenah untuk mengantisipasinya, tapi tak sedikit yang hanya bisa pasrah dan tahu diri untuk lebih baik menjadi pengekor, yang penting terbawa dalam gerbong pergaulan kaum elit dunia.

Pada abad pertengahan dahulu, Bangsa Mongol yang dipimpin Klan Khan dengan kekuatan militernya secara sporadis menguasai hampir sepertiga dunia selama hampir 1 abad. Kekayaan yang melimpah ruah yang mereka dapatkan dari pajak dan upeti negeri jajahannya menyebabkan tanah mereka disebut tanah emas. Bangsa Mongol melakukannya bukan hanya untuk sebuah ambisi menjadi bangsa yang kaya raya, tapi juga sebagai pembuktian akan ketangguhan Kaum Mongol pada masa itu.

Beberapa masa kemudian, sekitar abad 19, merebaknya revolusi industri di Inggris telah mengubah secara frontal nasib bangsa tersebut menjadi sebuah bangsa yang maju dan nyaris tak tertandingi. Momentum revolusi ini kemudian mereka manfaatkan untuk memperluas wilayah kekuasaanya dan meninggalkan pengaruh yang cukup kuat di wilayah pendudukannya, terbukti dari begitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris di banyak Negara di dunia sehingga menjadikan bahasa itu menjadi bahasa resmi dunia. Menyadari hal tersebut, banyak bangsa di dunia yang berbenah dan berusaha untuk mengimbanginya dengan membuka diri seluas-luasnya terhadap industri, penemuan-penemuan dan eksplorasi alam. Penemuan minyak bumi sebagai bahan bakar pada akhir abad 20 telah mengubah wajah dunia yang sebelumnya berlomba di bidang industri beralih dengan sebanyak-banyaknya melakukan eksplorasi alam. Sebagai bukti yang menggemparkan Bangsa Amerika pada masa itu adalah eksplorasi minyak oleh Mr. Rockefeller yang membawa kekayaan dahsyat buat dirinya, yang kalau dikonversi dengan nilai mata uang saat ini diyakini mencapai US$ 100 milyar, angka yang hingga detik ini belum pernah dicapai oleh manusia manapun di dunia. Penyebab lain dari eksplorasi minyak bumi secara besar-besaran tentu saja akibat revolusi transportasi dengan penemuan mesin penggerak untuk kendaraan dan pesawat terbang yang terjadi di Amerika dan Eropa yang kemudian menjadi titik awal persaingan industri pertama di dunia.

Selepas itu, pada pertengahan abad 20, seiring perkembangan industri pertambangan dunia, bangsa-bangsa di belahan Timur Tengah dengan sangat cepat berubah menjadi Negara yang kaya raya. Mereka ditakdirkan untuk menikmati kesejahteraan dari “kebaikan Tuhan” untuk meletakkan komunitas mahluk hidup yang pertama sekali di bumi di tanah mereka. Setelah beribu tahun (sebagian ilmuwan menyatakan jutaan tahun) dikubur di dalam tanah, dan kemudian jasad-jasad mahluk tersebut dalam waktu yang sangat lama telah berubah menjadi minyak bumi yang melimpah.

Kemudian pada masa setelah perang dunia kedua berakhir, Luluh lantaknya bangsa Jepang akibat “kiriman” 2 bom atom Amerika membuat bangsa yang malu kalah tersebut dengan sangat terpaksa mengumumkan kekalahannya dalam perang, yang dilakukan oleh Kaisarnya sendiri. Setelah itu mereka disadarkan fakta bahwa di mata dunia mereka telah berubah dari bangsa yang berkuasa menjadi bangsa yang tidak berarti apa-apa. Saat itu mereka melihat bahwa Jepang adalah negara yang memiliki kondisi perekonomian terburuk diantara bangsa-bangsa kolonialis lainnya.. Namun dengan secara cepat diiringi semangat yang sangat tinggi, bangsa Jepang dengan segera berbenah dan mengubah dirinya menjadi sebuah negara industri maju untuk mengimbangi bangsa lain yang telah ber-revolusi terlebih dahulu. Lihatlah sekarang bagaimana mereka dengan bangga menikmati status sebagai Macan Asia sebagai hadiah atas hasil jerih payah mereka sendiri.

Simpulannya, sepanjang sejarah peradaban dunia, seluruh kaum dan bangsa di dunia mempunyai cara dan kemampuan tersendiri merubah dirinya untuk menggapai status sebagai bangsa terbaik dunia. Bangsa yang menyadari akan keterbatasan alamnya, cenderung akan memaksimalkan sumber daya manusianya. Sebaliknya pula pada bangsa yang menyadari akan keterbatasan kualitas manusianya, cenderung akan memajukan sumber daya alamnya. Setiap bangsa memiliki kecenderungan yang sama, sehingga apabila ada bangsa yang tidak memiliki keduanya, maka bangsa tersebut akan terbelakang dan menjadi tumbal dari ambisi bangsa-bangsa lain.

Bagaimana dengan bangsa yang memiliki keduanya, kekayaan alam dan sumber daya manusia berkualitas? Kecenderungannya justru bangsa tersebut menjadi bangsa yang pemalas, sombong dan tidak tahu diri. Dengan tidak bermaksud menyakiti hati bangsa kita, secara sadar kita sebenarnya mengakui bahwa bangsa kita adalah salah satu dari bangsa yang pemalas, sombong dan tidak tahu diri itu.

Benarkah bangsa kita pemalas ? sekarang mari kita lihat bagaimana kita selalu ingin segala sesuatunya berjalan lebih cepat tanpa harus bersusah payah. Daripada menunggu adanya putra bangsa ini yang mampu mendirikan perusahaan pertambangan yang mampu mengeksplorasi alam, kita lebih suka mencari jalan pintas dengan menjual hak eksplorasi tambang kepada bangsa lain. Perusahaan-perusahaan asing dengan leluasa dan merdeka mengeruk hasil alam sebanyak-banyaknya dengan memberikan manfaat yang sangat rendah kepada bangsa kita. Sejenak kita lihat sejarah bagaimana dahulu VOC sebagai kamar dagang Belanda membuka perkebunan rakyat di negeri ini, mempekerjakan orang kita dari buruh sampai ke mandornya, memberikan sedikit upeti kepada keresidenan untuk amannya usaha dan mengangkut sebanyak-banyaknya Gulden ke negerinya untuk dipergunakan mempertahankan jajahannya, termasuk negeri kita. Kalau kita renungkan, rasanya hal itu tidak jauh berbeda dengan saat ini. Dengan dalih untuk kemakmuran rakyat, perusahaan pertambangan asing diijinkan melakukan eksplorasi di negeri ini, lalu dengan cerdiknya mereka mempekerjakan orang kita dari buruh sampai ke pimpinan tertingginya, memberikan sedikit pajak kepada Negara (dan sepertinya juga upeti kepada pemegang kebijakan untuk amannya usaha?) dan mengangkut sebanyak-banyaknya keuntungan ke negaranya untuk dipergunakan mempertahankan eksistensi di wilayah eksplorasinya, termasuk di negeri kita. Mengapa pemegang kebijakan di negeri ini tidak dapat melihat bahwa hal itu bisa terjadi karena adanya sebuah kebijakan salah, yang justru menunjukkan bukti dari kemalasan bangsa kita sendiri.

Disisi lain, apakah kita juga adalah bangsa yang sombong? Dalam setiap permasalahan yang menyebabkan keterpurukan, kita lebih suka mengungkit tentang martabat dan kebanggaan bangsa kita pada masa lalu, yang sebenarnya hanya sebuah kisah heroik atau malah sebuah dongeng belaka, daripada menjaga martabat itu agar tetap bertahan. Dengan menepuk dada kita selalu membanggakan bahwa kita dahulu adalah bangsa yang besar, nenek moyang kita adalah pelaut gagah berani yang mampu mengarungi lautan sampai ke Madagascar, yang dengan perkasa pula mampu menolak menyerah kepada Mongol dan membabat telinga utusannya, makmur karena menjadi pusat perdagangan Asia, dengan gigih mampu bertahan dari 5 negeri penjajah, berbudaya tinggi dengan bukti kemampuan mendirikan candi raksasa dan ratusan bahkan mungkin ribuan candi lainnya yang tersebar di seluruh nusantara, serta mempunyai keragaman suku dan bahasa yang tidak dimiliki bangsa lain. Tapi kita terlalu sombong untuk menyebut satu hal, bahwa itu semua adalah masa lalu, masa yang oleh bangsa lain hanya dipandang sebagai sejarah dan refleksi kebangsaan. Saat ini bukan lagi karena keberanian Christoper Columbus bangsa Spanyol dikenal, bukan lagi karena Restorasi Meiji bangsa Jepang dikagumi, bukan lagi karena mahakarya Taj Mahal bangsa India dipandang, tapi karena mereka semua mampu mengembangkan negerinya pada setiap situasi dari masa ke masa tanpa harus terlena untuk bernostalgia; sesuatu yang secara sadar, diakui atau tidak, telah menyebabkan bangsa kita terperangkap begitu lama pada lamunan yang tidak berarti apa-apa. Perilaku nostalgia itu pula yang sepertinya telah menyebabkan kita menjadi bangsa yang sombong dan mudah sekali dengki kepada bangsa lain yang dulunya tidak ada apa-apa dibanding kita namun kini bisa lebih maju daripada bangsa kita, yang berakibat pada gemarnya bangsa kita mencari-cari kekurangan bangsa lain daripada berkaca dan memperbaiki diri. Bukti paling nyata adalah kegamangan kita dalam memandang setiap permasalahan dengan Malaysia. Benarkah karena kesalahan mereka atau malah karena kecerobohan kita sendiri?

Sebagai akibat kemalasan dan kesombongan tersebut, pada akhirnya kita mesti bertanya,” apakah kita telah menjadi bangsa yang tidak tahu diri?”. Tidak ada seorangpun di negeri ini yang membantah bahwa kita punya kekayaan alam yang amat sangat melimpah. Namun semua itu tidak pernah secara serius dan matang kita manfaatkan. Pada saat kita melihat bangsa lain mampu memanfaatkannya di negeri ini, kita hanya bisa marah dan menyalahkan diri sendiri maupun orang lain, tanpa mau mencoba untuk bertindak positif dengan berhenti saling menyalahkan dan mulai melakukan sebuah terobosan baru.
Bukankah kita sebenarnya juga punya sumber daya manusia yang mengagumkan? Namun kita sendiri tidak mampu mendayagunakannya karena kepicikan kita sendiri. Bangsa kita masih terkungkung dengan pola pikir adanya kekuasaan dan kekuatan yang absolut dan wajib dari kaum mayoritas atas kaum minoritas. Kaum mayoritas merasa kebijakan dijalankan berdasarkan keyakinan bahwa kebenaran adalah milik kaum dengan kuantitas terbanyak. Maka jangan heran, meskipun Undang-undang kita memperkenankannya, rasanya sampai saatnya saya menghadap Ilahi kelak, saya tidak akan melihat orang Aceh atau orang Papua akan menjadi orang nomor 1 di negeri ini, meskipun mereka punya kemampuan untuk itu.

Sebagai contoh sederhana, sekarang mari kita tengok ilmuwan-ilmuwan muda kita yang berkali-kali mendulang prestasi di Olimpiade Sains. Apakah yang sudah dipersiapkan Negara untuk Pahlawan-pahlawan muda itu? Apakah dengan menyambut di Istana Negara, memberi mereka sedikit dana beasiswa dan menampilkan mereka pada peringatan hari Kebangkitan Nasional di Stadion Gelora Bung Karno sudah cukup? Bagaimana dengan Pak Johannes yang membimbing Tim Olimpiade Sains kita selama bertahun-tahun dan membawa medali yang sangat banyak, apa yang sudah diberikan Negara untuk beliau. Sampai saat ini, ternyata kita belum menyiapkan tempat terbaik bagi mereka. Bagi kita, hiruk pikuk kampanye dan mendengar rayuan gombal politisi masih lebih seru dan menyenangkan daripada memikirkan para pahlawan kita itu. Padahal sebenarnya, daripada menggelontorkan uang ratusan juta untuk berkampanye dan menunggangi Hari Kebangkitan Nasional, bukankah lebih baik uang tersebut digunakan untuk membangun sekolah-sekolah murah di daerah-daerah miskin?

Namun itulah yang sedang terjadi, dan hanya kita yang mampu merubah perilaku tersebut. Maka marilah merenungkan bersama-sama, apakah kita akan menjadi bangsa yang berbenah, atau mau seterusnya menjadi bangsa yang tidak tahu diri sampai akhirnya kita gagal menjadi suatu Negara. Kobaran semangat dari teriakan “Indonesia Bisa!”, semoga tidak menjadi sekedar ucapan slogan yang hanya membakar semangat sesaat saja, karena riuh rendahnya perayaan Hari Kebangkitan Nasional kemarin, ternyata tidak terdengar lagi gaungnya hari ini.