JOAN JOAN GERALD

Jumat, 08 Januari 2010

Menjadi Bangsa Yang Lupa Diri


Seluruh Bangsa di dunia pada abad terakhir ini telah menjelma menjadi bangsa-bangsa yang kompetitif untuk menjaga eksistensi gengsinya dimata bangsa lain. Dengan tidak mengenal kasihan, dunia telah secara serius meninggalkan hampir seluruh budaya nenek moyangnya untuk mencapai kasta tertinggi di peradaban modern. Meskipun simbol peradaban masih tetap terjaga dengan baik, namun cagar-cagar dunia itu hanyalah sebagai simbol dari pernah bertenggernya suatu bangsa yang lebih maju pada kaum tersebut di masa lampau. Akibatnya, seluruh dunia tanpa terkecuali, menggerakkan roda kehidupannya dengan lebih cepat dan nyaris saja meninggalkan peradaban masa lalunya yang lebih berbudaya.

Prinsip suatu bangsa yang selalu ingin menjadi terdepan dan lebih superior dibanding bangsa lain secara perlahan telah begitu ganas menggilas nasib bangsa-bangsa yang lebih lemah sumber dayanya ke dalam posisi yang tidak berdaya. Bangsa yang lemah hanya bisa terpelongo dan kagum akan kemajuan bangsa lain. Ada yang berbenah untuk mengantisipasinya, tapi tak sedikit yang hanya bisa pasrah dan tahu diri untuk lebih baik menjadi pengekor, yang penting terbawa dalam gerbong pergaulan kaum elit dunia.

Pada abad pertengahan dahulu, Bangsa Mongol yang dipimpin Klan Khan dengan kekuatan militernya secara sporadis menguasai hampir sepertiga dunia selama hampir 1 abad. Kekayaan yang melimpah ruah yang mereka dapatkan dari pajak dan upeti negeri jajahannya menyebabkan tanah mereka disebut tanah emas. Bangsa Mongol melakukannya bukan hanya untuk sebuah ambisi menjadi bangsa yang kaya raya, tapi juga sebagai pembuktian akan ketangguhan Kaum Mongol pada masa itu.

Beberapa masa kemudian, sekitar abad 19, merebaknya revolusi industri di Inggris telah mengubah secara frontal nasib bangsa tersebut menjadi sebuah bangsa yang maju dan nyaris tak tertandingi. Momentum revolusi ini kemudian mereka manfaatkan untuk memperluas wilayah kekuasaanya dan meninggalkan pengaruh yang cukup kuat di wilayah pendudukannya, terbukti dari begitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris di banyak Negara di dunia sehingga menjadikan bahasa itu menjadi bahasa resmi dunia. Menyadari hal tersebut, banyak bangsa di dunia yang berbenah dan berusaha untuk mengimbanginya dengan membuka diri seluas-luasnya terhadap industri, penemuan-penemuan dan eksplorasi alam. Penemuan minyak bumi sebagai bahan bakar pada akhir abad 20 telah mengubah wajah dunia yang sebelumnya berlomba di bidang industri beralih dengan sebanyak-banyaknya melakukan eksplorasi alam. Sebagai bukti yang menggemparkan Bangsa Amerika pada masa itu adalah eksplorasi minyak oleh Mr. Rockefeller yang membawa kekayaan dahsyat buat dirinya, yang kalau dikonversi dengan nilai mata uang saat ini diyakini mencapai US$ 100 milyar, angka yang hingga detik ini belum pernah dicapai oleh manusia manapun di dunia. Penyebab lain dari eksplorasi minyak bumi secara besar-besaran tentu saja akibat revolusi transportasi dengan penemuan mesin penggerak untuk kendaraan dan pesawat terbang yang terjadi di Amerika dan Eropa yang kemudian menjadi titik awal persaingan industri pertama di dunia.

Selepas itu, pada pertengahan abad 20, seiring perkembangan industri pertambangan dunia, bangsa-bangsa di belahan Timur Tengah dengan sangat cepat berubah menjadi Negara yang kaya raya. Mereka ditakdirkan untuk menikmati kesejahteraan dari “kebaikan Tuhan” untuk meletakkan komunitas mahluk hidup yang pertama sekali di bumi di tanah mereka. Setelah beribu tahun (sebagian ilmuwan menyatakan jutaan tahun) dikubur di dalam tanah, dan kemudian jasad-jasad mahluk tersebut dalam waktu yang sangat lama telah berubah menjadi minyak bumi yang melimpah.

Kemudian pada masa setelah perang dunia kedua berakhir, Luluh lantaknya bangsa Jepang akibat “kiriman” 2 bom atom Amerika membuat bangsa yang malu kalah tersebut dengan sangat terpaksa mengumumkan kekalahannya dalam perang, yang dilakukan oleh Kaisarnya sendiri. Setelah itu mereka disadarkan fakta bahwa di mata dunia mereka telah berubah dari bangsa yang berkuasa menjadi bangsa yang tidak berarti apa-apa. Saat itu mereka melihat bahwa Jepang adalah negara yang memiliki kondisi perekonomian terburuk diantara bangsa-bangsa kolonialis lainnya.. Namun dengan secara cepat diiringi semangat yang sangat tinggi, bangsa Jepang dengan segera berbenah dan mengubah dirinya menjadi sebuah negara industri maju untuk mengimbangi bangsa lain yang telah ber-revolusi terlebih dahulu. Lihatlah sekarang bagaimana mereka dengan bangga menikmati status sebagai Macan Asia sebagai hadiah atas hasil jerih payah mereka sendiri.

Simpulannya, sepanjang sejarah peradaban dunia, seluruh kaum dan bangsa di dunia mempunyai cara dan kemampuan tersendiri merubah dirinya untuk menggapai status sebagai bangsa terbaik dunia. Bangsa yang menyadari akan keterbatasan alamnya, cenderung akan memaksimalkan sumber daya manusianya. Sebaliknya pula pada bangsa yang menyadari akan keterbatasan kualitas manusianya, cenderung akan memajukan sumber daya alamnya. Setiap bangsa memiliki kecenderungan yang sama, sehingga apabila ada bangsa yang tidak memiliki keduanya, maka bangsa tersebut akan terbelakang dan menjadi tumbal dari ambisi bangsa-bangsa lain.

Bagaimana dengan bangsa yang memiliki keduanya, kekayaan alam dan sumber daya manusia berkualitas? Kecenderungannya justru bangsa tersebut menjadi bangsa yang pemalas, sombong dan tidak tahu diri. Dengan tidak bermaksud menyakiti hati bangsa kita, secara sadar kita sebenarnya mengakui bahwa bangsa kita adalah salah satu dari bangsa yang pemalas, sombong dan tidak tahu diri itu.

Benarkah bangsa kita pemalas ? sekarang mari kita lihat bagaimana kita selalu ingin segala sesuatunya berjalan lebih cepat tanpa harus bersusah payah. Daripada menunggu adanya putra bangsa ini yang mampu mendirikan perusahaan pertambangan yang mampu mengeksplorasi alam, kita lebih suka mencari jalan pintas dengan menjual hak eksplorasi tambang kepada bangsa lain. Perusahaan-perusahaan asing dengan leluasa dan merdeka mengeruk hasil alam sebanyak-banyaknya dengan memberikan manfaat yang sangat rendah kepada bangsa kita. Sejenak kita lihat sejarah bagaimana dahulu VOC sebagai kamar dagang Belanda membuka perkebunan rakyat di negeri ini, mempekerjakan orang kita dari buruh sampai ke mandornya, memberikan sedikit upeti kepada keresidenan untuk amannya usaha dan mengangkut sebanyak-banyaknya Gulden ke negerinya untuk dipergunakan mempertahankan jajahannya, termasuk negeri kita. Kalau kita renungkan, rasanya hal itu tidak jauh berbeda dengan saat ini. Dengan dalih untuk kemakmuran rakyat, perusahaan pertambangan asing diijinkan melakukan eksplorasi di negeri ini, lalu dengan cerdiknya mereka mempekerjakan orang kita dari buruh sampai ke pimpinan tertingginya, memberikan sedikit pajak kepada Negara (dan sepertinya juga upeti kepada pemegang kebijakan untuk amannya usaha?) dan mengangkut sebanyak-banyaknya keuntungan ke negaranya untuk dipergunakan mempertahankan eksistensi di wilayah eksplorasinya, termasuk di negeri kita. Mengapa pemegang kebijakan di negeri ini tidak dapat melihat bahwa hal itu bisa terjadi karena adanya sebuah kebijakan salah, yang justru menunjukkan bukti dari kemalasan bangsa kita sendiri.

Disisi lain, apakah kita juga adalah bangsa yang sombong? Dalam setiap permasalahan yang menyebabkan keterpurukan, kita lebih suka mengungkit tentang martabat dan kebanggaan bangsa kita pada masa lalu, yang sebenarnya hanya sebuah kisah heroik atau malah sebuah dongeng belaka, daripada menjaga martabat itu agar tetap bertahan. Dengan menepuk dada kita selalu membanggakan bahwa kita dahulu adalah bangsa yang besar, nenek moyang kita adalah pelaut gagah berani yang mampu mengarungi lautan sampai ke Madagascar, yang dengan perkasa pula mampu menolak menyerah kepada Mongol dan membabat telinga utusannya, makmur karena menjadi pusat perdagangan Asia, dengan gigih mampu bertahan dari 5 negeri penjajah, berbudaya tinggi dengan bukti kemampuan mendirikan candi raksasa dan ratusan bahkan mungkin ribuan candi lainnya yang tersebar di seluruh nusantara, serta mempunyai keragaman suku dan bahasa yang tidak dimiliki bangsa lain. Tapi kita terlalu sombong untuk menyebut satu hal, bahwa itu semua adalah masa lalu, masa yang oleh bangsa lain hanya dipandang sebagai sejarah dan refleksi kebangsaan. Saat ini bukan lagi karena keberanian Christoper Columbus bangsa Spanyol dikenal, bukan lagi karena Restorasi Meiji bangsa Jepang dikagumi, bukan lagi karena mahakarya Taj Mahal bangsa India dipandang, tapi karena mereka semua mampu mengembangkan negerinya pada setiap situasi dari masa ke masa tanpa harus terlena untuk bernostalgia; sesuatu yang secara sadar, diakui atau tidak, telah menyebabkan bangsa kita terperangkap begitu lama pada lamunan yang tidak berarti apa-apa. Perilaku nostalgia itu pula yang sepertinya telah menyebabkan kita menjadi bangsa yang sombong dan mudah sekali dengki kepada bangsa lain yang dulunya tidak ada apa-apa dibanding kita namun kini bisa lebih maju daripada bangsa kita, yang berakibat pada gemarnya bangsa kita mencari-cari kekurangan bangsa lain daripada berkaca dan memperbaiki diri. Bukti paling nyata adalah kegamangan kita dalam memandang setiap permasalahan dengan Malaysia. Benarkah karena kesalahan mereka atau malah karena kecerobohan kita sendiri?

Sebagai akibat kemalasan dan kesombongan tersebut, pada akhirnya kita mesti bertanya,” apakah kita telah menjadi bangsa yang tidak tahu diri?”. Tidak ada seorangpun di negeri ini yang membantah bahwa kita punya kekayaan alam yang amat sangat melimpah. Namun semua itu tidak pernah secara serius dan matang kita manfaatkan. Pada saat kita melihat bangsa lain mampu memanfaatkannya di negeri ini, kita hanya bisa marah dan menyalahkan diri sendiri maupun orang lain, tanpa mau mencoba untuk bertindak positif dengan berhenti saling menyalahkan dan mulai melakukan sebuah terobosan baru.
Bukankah kita sebenarnya juga punya sumber daya manusia yang mengagumkan? Namun kita sendiri tidak mampu mendayagunakannya karena kepicikan kita sendiri. Bangsa kita masih terkungkung dengan pola pikir adanya kekuasaan dan kekuatan yang absolut dan wajib dari kaum mayoritas atas kaum minoritas. Kaum mayoritas merasa kebijakan dijalankan berdasarkan keyakinan bahwa kebenaran adalah milik kaum dengan kuantitas terbanyak. Maka jangan heran, meskipun Undang-undang kita memperkenankannya, rasanya sampai saatnya saya menghadap Ilahi kelak, saya tidak akan melihat orang Aceh atau orang Papua akan menjadi orang nomor 1 di negeri ini, meskipun mereka punya kemampuan untuk itu.

Sebagai contoh sederhana, sekarang mari kita tengok ilmuwan-ilmuwan muda kita yang berkali-kali mendulang prestasi di Olimpiade Sains. Apakah yang sudah dipersiapkan Negara untuk Pahlawan-pahlawan muda itu? Apakah dengan menyambut di Istana Negara, memberi mereka sedikit dana beasiswa dan menampilkan mereka pada peringatan hari Kebangkitan Nasional di Stadion Gelora Bung Karno sudah cukup? Bagaimana dengan Pak Johannes yang membimbing Tim Olimpiade Sains kita selama bertahun-tahun dan membawa medali yang sangat banyak, apa yang sudah diberikan Negara untuk beliau. Sampai saat ini, ternyata kita belum menyiapkan tempat terbaik bagi mereka. Bagi kita, hiruk pikuk kampanye dan mendengar rayuan gombal politisi masih lebih seru dan menyenangkan daripada memikirkan para pahlawan kita itu. Padahal sebenarnya, daripada menggelontorkan uang ratusan juta untuk berkampanye dan menunggangi Hari Kebangkitan Nasional, bukankah lebih baik uang tersebut digunakan untuk membangun sekolah-sekolah murah di daerah-daerah miskin?

Namun itulah yang sedang terjadi, dan hanya kita yang mampu merubah perilaku tersebut. Maka marilah merenungkan bersama-sama, apakah kita akan menjadi bangsa yang berbenah, atau mau seterusnya menjadi bangsa yang tidak tahu diri sampai akhirnya kita gagal menjadi suatu Negara. Kobaran semangat dari teriakan “Indonesia Bisa!”, semoga tidak menjadi sekedar ucapan slogan yang hanya membakar semangat sesaat saja, karena riuh rendahnya perayaan Hari Kebangkitan Nasional kemarin, ternyata tidak terdengar lagi gaungnya hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar