JOAN JOAN GERALD

Sabtu, 09 Januari 2010

Teknologi Pertanian sebagai Solusi Krisis Pangan


Ketika masih duduk di bangku kelas I SMU (ketika itu SMA) di Padangsidimpuan, kami memiliki guru mata pelajaran Biologi yang bernama Pak Hasibuan. Beliau bukanlah seorang pakar Pangan atau Pertanian, hanyalah seorang guru biasa yang juga mempunyai profesi sampingan sebagai tukang becak untuk menambah pendapatan keluarganya. Saya teringat ketika pada suatu hari saat sedang mengajarkan mengenai reproduksi tanaman, beliau mengatakan bahwa suatu saat, tidak lama dari sekarang, orang akan lebih suka memikirkan uang dan mesin daripada memikirkan tanaman yang bisa dimakannya. Pada masa dimana tanaman dan hewan sudah tidak dapat lagi dikonsumsi, pada saat itu pulalah manusia baru akan tersadar bahwa mesin dan uang tidak dapat digunakan untuk makan demi mempertahankan hidupnya. Hingga kini saya masih selalu terngiang perkataan beliau tersebut, terlebih melihat perkembangan situasi dunia sekarang, sepertinya apa yang disampaikannya dulu semakin mendekati kenyataan. Pernyataan ini sebenarnya hampir sejalan dengan Teori Pertumbuhan Penduduk yang diungkapkan Malthus, hanya saja Malthus lebih menyorot efek dari pertumbuhan penduduk yang pesat daripada pertumbuhan pangan yang melambat.

Ketika pernyataan itu disampaikan Pak Hasibuan, pada saat yang sama Bangsa Indonesia sedang berada dalam puncak keemasan produksi tanaman pangan, panen raya terjadi dimana-mana, surplus persediaan bahan makanan pokok mencapai angka tertinggi, dan posisi kita sedang bersiap (atau bahkan sudah) menjadi Macan Asia dibidang pertanian. Tidak ada seorang anak sekolah-pun yang tidak kenal istilah Palawija, Gogo Rancah, Sawah Tadah Hujan, Subak dan istilah lainnya yang menunjukkan betapa bangsa kita di bidang pertanian mampu melakukan apapun, menghasilkan tanaman pangan apa saja, di lokasi manapun meski dalam kondisi bagaimanapun buruknya. Kala itu tentu saja saya dan teman-teman sekelas tidak sedikitpun menanggapi dengan serius perkataan beliau, tidak ada reaksi apapun dari kami muridnya selain melihat dengan pandangan sinis dan dingin. Dengan kondisi gemah ripah loh jinawi itu, bagaimana mungkin manusia bisa kehabisan pangan? begitu yang ada di benak saya. Sedikitpun tidak ada keyakinan pada kami bahwa suatu saat manusia akan krisis dan bahkan mungkin akan kehabisan bahan pangan.

Mungkin saya hanya satu dari begitu banyak manusia di negara ini, atau bahkan di penjuru dunia, yang begitu yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja. Pertanian sudah ada yang mengurus di tempat lain, kita tidak merasa perlu untuk mengkhawatirkan akan kekurangan bahan pangan, toh petani, peternak dan nelayan masih banyak. Kita lebih suka mencari jalan untuk hidup sejahtera dengan bekerja di bidang yang lain, misalnya di bidang industri mesin atau elektronik, entertain, politik atau bahkan birokrasi karena jelas lebih menjanjikan dibandingkan menjadi petani atau nelayan.
Sepertinya hal yang sama juga ada di benak orang lain, sehingga secara tidak sadar kita telah melihat begitu tajamnya pertumbuhan manusia yang berpindah ke perkotaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan meninggalkan lahan tani dan perahu ikannya di desa asalnya.

Secara perlahan tapi pasti, orang-orang mulai gerah karena pola hidup konsumerisme telah mengubah pemikiran akan pentingnya gengsi dari sebuah pekerjaan dan gaya hidup, bukan hanya pada dirinya, tapi juga diajarkan secara berkesinambungan terhadap anak-anaknya. Jangankan para karyawan, para petani-pun sudah enggan untuk mendidik anaknya untuk menjadi petani juga. Bangsa kita telah secara berkala berubah menjadi manusia yang lebih mengagumi pekerjaan dengan pegangan laptop daripada cangkul atau jala, mengendarai mobil pribadi daripada mengendalikan mesin bajak atau mendayung perahu, melepaskan penat di café daripada di bale-bale, dan berbagai macam identitas keunggulan kemapanan lainnya yang sebenarnya adalah efek dari globalisasi gaya hidup materialisme yang diusung dunia sejak meletusnya revolusi industri abad 19 dulu. Akibatnya, peminat untuk berprofesi dibidang pertanian kian merosot tajam hingga secara teori dapat dipastikan produksi panganpun menurun drastis, sementara konsumen pangan bertambah berkali-kali lipat. Pada gilirannya adalah kenaikan harga pangan di negara kita yang sudah tidak dapat ditahan lagi, meski segala upaya telah dilakukan pemerintah untuk menstabilkannya, tapi tetap tak mampu dibendung.

Lalu bagaimana dengan negara? apakah negara telah berbuat salah dengan membiarkan warganya merubah pola hidup dari manusia produktif pangan menjadi produktif material?
Sepertinya apa yang saya pikirkan selama ini juga sama dengan apa yang ada di pikiran para pengatur kebijakan di negara kita. Negara telah membiarkan dirinya sendiri begitu lama terlena dalam mengejar status sosial di mata dunia sebagai negara maju dengan menggelontorkan uang begitu banyak untuk merayu investor asing menanamkan modalnya disini, menggerakkan sektor swasta untuk mengembangkan industri dan jasa serta berkonsentrasi penuh untuk melakukan perbaikan di bidang birokrasi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena bila itu berhasil, tidak ada yang lebih membanggakan bagi kita selain melihat Indonesia mendapat predikat sebagai Negara yang paling produktif dan tingkat pertumbuhan ekonominya terbaik.
Namun dibalik semua upaya itu, ternyata negara seakan-akan melupakan sektor yang sebenarnya jauh lebih menjanjikan untuk mengangkat pamor kita di mata bangsa lain dibanding mencoba ketertinggalan industri mesin, yaitu sector pertanian.
Pertanian telah dilupakan begitu lama. Kini kita tidak mendengar lagi safari dari desa ke desa untuk temu wicara dengan petani yang dulu dilakukan Soeharto dengan doyannya. Kalaupun terdengar beberapa kali adanya temu wicara, tidak lebih hanya sebuah dukungan moral bagi para petani untuk menghadapi permasalahannya, dan bukan memberi dukungan nyata dengan upaya pembangunan industri pertanian mereka

Mungkin bagi beberapa kalangan kalimat “industri pertanian” masih terdengar asing, namun ide ini sebenarnya sudah pernah dimunculkan pada awal tahun 80-an. Industri pertanian telah lama diberdayakan di negara-negara maju seperti Jepang dan Thailand. Secara sederhana sejak dulu kita telah mengenal industri pertanian melalui penanaman bibit unggul atau sistim penangkaran ikan di keramba. Di negara maju sendiri industri pertanian dengan memanfaatkan teknologi untuk peningkatan hasil pangan telah berkembang begitu pesat. Penguasaan atas teknologi pertanian dapat membantu masyarakat kita untuk mengembangkan industri pertanian. Beberapa kaum intelektual kita telah mencobanya dengan mengembangkan perkebunan hidroponik, penggunaan rumah kaca dan perkebunan organik, meskipun hampir seluruhnya dari mereka masih malu-malu untuk muncul di permukaan. Percaya atau tidak, dengan teknologi pertanian, bukan hal aneh bila didapatkan panen dari 1 batang tanaman tomat yang menghasilkan sampai 5 kg dengan hanya menggunakan media bilah bambu berukuran 20 cm dan berdiameter 10 cm. Dengan kemampuan produksi yang mengagumkan itu, semestinya pemerintah memang sudah harus mulai melirik teknologi pertanian dan menjadikan bidang pertanian sebagai salah satu motor industrinya yang baru. Dengan keteraturan panen hasil pertanian dan melimpahnya persediaan, secara teori sebenarnya harga bahan makanan dalam negeri tidak akan melambung tinggi seperti sekarang ini.

Bangsa kita memiliki banyak sekali sumber daya manusia yang memiliki kemampuan mumpuni di bidang teknologi pertanian, namun pada akhirnya mereka, (termasuk istri saya yang juga seorang Sarjana Teknologi Pertanian) kemudian beralih untuk mengambil profesi di bidang lain, karena minimnya pengembangan industri pertanian di negara kita menyebabkan mereka tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya. Sungguh disayangkan mengingat dunia pendidikan kita telah banyak menelurkan ahli-ahli teknologi pertanian justru kemudian tidak tertarik untuk menerapkannya karena tidak adanya dukungan. Hal ini berbanding lurus pula dengan keengganan pemerintah untuk menfokuskan dirinya pada bidang teknologi pertanian, sehingga impian untuk memiliki industri pertanian yang maju-pun semakin menjauh.

Ketika pada bulan-bulan terakhir ini kita mulai merasakan kurangnya pasokan pangan hingga membuat harganya melambung tinggi, kita masih tenang-tenang saja dan mengganggap bahwa hal tersebut dipicu oleh inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia dan resesi ekonomi global, sehingga yang perlu diselesaikan adalah meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat. Gaung ketahanan pangan yang didengung-dengungkan tidak lebih dari slogan untuk menunjukkan bahwa stok pangan kita masih kuat, hanya daya beli masyarakat saja yang sedikit berkurang. Hanya sedikit dari kita yang setuju bahwa tingginya harga bahan makanan dikarenakan produksi bahan pangan yang memang sudah sangat jauh menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kemudian ketika FAO merilis bahwa ada sekitar 36 negara yang sedang krisis pangan atau setidaknya akan menghadapi krisis pangan, mata kita agak terbelalak terkejut karena ternyata Indonesia termasuk didalamnya. Presiden segera melakukan pertemuan dengan para petani untuk melakukan “konsolidasi” dan mengirimkan surat ke PBB untuk meminta dukungan moril atas terjadinya krisis pangan di dunia. Gaung kestabilan pangan kembali diteriakkan dan serentak konsentrasi segera beralih untuk membenahi kemampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga bahan pangan. Tapi, lagi-lagi tidak ada seorang pejabat pemerintahpun yang menggerakkan tangan untuk mulai mengangkat isu teknologi pertanian ke permukaan. Padahal jika saja dari dulu hal ini dilakukan, bukan tidak mungkin kita sekarang menjadi negara makmur karena menjadi lumbung pangan di saat dunia sedang krisis. Saat ini pengembangan industri pertanian memang agak terlambat bila harus dimulai, karena kita telah ada di garis krisis, tapi tentu saja lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan sama sekali.

Penerapan teknologi pertanian sendiri dapat dilakukan dengan cara pengembangan mekanisasi pertanian untuk memaksimalkan kekurangan tenaga buruh dibidang pertanian, pengembangan varietas unggul untuk mempersingkat umur produksi dan menciptakan hasil yang melimpah, pengembangan bioteknologi dan teknik hidroponik sebagai strategi pada lahan yang sempit, pengembangan teknik rumah kaca untuk menjaga ketahanan tanaman dari perubahan suhu dan kelembaban udara, pengembangan chemical syntetic untuk memudahkan konsumen dan pengembangan teknologi kerambah untuk mengatur jumlah ikan yang dapat ditangkap.

Negara kita memiliki lahan yang sangat luas, iklim yang menguntungkan, tanaman yang bervariasi, para ahli yang mumpuni dan tenaga kerja yang berlebih, lalu, apa lagi yang harus ditunggu? Pemerintah harus mulai memberi dukungan penuh pada sektor pertanian secepatnya selagi PBB sendiri sedang menyerukan diadakannya sebuah revolusi hasil pangan. Sebab bila tidak, kita tidak akan pernah mampu untuk menahan laju kenaikan harga pangan dunia yang semakin menggila. Untuk itu jangan pernah meremehkan teknologi untuk pengembangan industri pertanian, karena kemapanan pangan di negara maju adalah bukti sahih akan keberhasilan mereka dalam mengembangkan industri pertanian. Pemerintah pasti mampu karena yang dibutuhkan hanya sedikit perhatian saja pada sektor ini. Dengan demikian mudah-mudahan apa yang disampaikan Pak Hasibuan dulu tidak sampai terjadi pada bangsa ini, dan kita masih bisa tidur nyenyak untuk melupakan Teori Malthus yang menakutkan itu.

1 komentar:

  1. mampir nich...
    oh ea,, ada sedikit info tentang kayu jabon.mungkin pernah denger tentang kayu jabon ok.. SALAM.....

    BalasHapus