Salah satu orang penting di balik keberhasilan China menguasai bulu tangkis dunia adalah Tong Sin Fu alias Tang Xianhu. Pelatih kelahiran Lampung itu pernah memoles generasi emas bulu tangkis Indonesia. Dia terpaksa kembali ke China karena permohonannya menjadi WNI (warga negara Indonesia) ditolak.
========================================================
PRIA renta itu hampir selalu berada di tepi lapangan setiap kali Lin Dan tampil pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Kepalanya terbungkus topi dan sebuah tas diselempangkan di pundak. Lin Dan, pebulutangkis tunggal pria andalan China, selalu menoleh ke arah pria itu setiap kali lawan berhasil menerobos pertahanannya. Menunggu instruksi.
Lin Dan, yang sejatinya hanya diunggulkan di peringkat kelima, akhirnya berhasil menjadi juara dunia di Gachibowli Indoor Stadium, Hyderabad, 16 Agustus 2009 lalu. Keberhasilannya, antara lain, berkat instruksi pria tua yang tak lain adalah Tong Sin Fu, pelatih tim nasional (timnas) China.
Itu adalah gelar juara dunia ketiga bagi pemain berjuluk Super Dan tersebut, setelah memenanginya pada 2006 dan 2007. Di partai final, Tong tak tampak di pinggir lapangan lagi. Alasannya, mungkin, partai tersebut mempertemukan sesama pemain China, Lin Dan vs Chen Jin.
Tong adalah sosok yang sangat berjasa bagi kemajuan bulu tangkis di negeri terpadat di dunia itu. Sentuhan magisnya membuat China kembali menjadi raksasa bulu tangkis di era modern ini. Para pemain China, dalam beberapa tahun terakhir, memang bermain dengan kemampuan jauh di atas pemain mana pun. Tak heran, pada kejuaraan di India itu timnas China hanya kehilangan gelar ganda campuran. Empat nomor lain dikuasai pemain China. Bahkan, tiga partai final berlangsung antarpemain China.
Sebaliknya, Indonesia terpuruk. Nova Widianto/Liliyana Natsir, satu-satunya wakil di final kerjuaraan itu, dikalahkan duet Denmark, Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl.
Melatih pemain China, kata Tong, tidak terlalu susah. Sebab, mereka sangat berbakat. "Di China, para pemandu bakat telah menyediakan pemain-pemain bagus. Kami, para pelatih, tinggal memoles," katanya dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.
Tong memang lahir dan besar di Indonesia. Tepatnya di Teluk Betung, Lampung, 13 Maret 1942. "Di China, nama saya sering disebut Tang Xianhu atau Tang Hsien Hu, bergantung dialek daerah masing-masing. Tapi, orang tua saya memberi nama Tong Sin Fu," paparnya kala ditemui di sela Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2009. Ketika masih menangani timnas Indonesia, dia punya nama Fuad Nurhadi.
Tak kurang dari tiga puluh tahun dia menjadi pelatih bulu tangkis. Kepelatihannya berawal pada akhir 1979, saat dia mulai gantung raket. Selama enam tahun Tong memoles para pemain wanita China. Di antaranya Li Lingwei dan Han Aiping. Dua pebulu tangkis andalan China di era 1980-an.
Kemudian pada 1986 Tong melatih di Indonesia. Awalnya, dia tidak menangani pemain Pelatnas Cipayung. Dia melatih di klub Pelita Jaya milik Aburizal Bakrie. Ketika itu dia dikontrak USD 750 per bulan. Setelah itu Tong ditarik untuk menangani pebulu tangkis yang ditempa di Pelatnas Cipayung.
Ketika itu sejumlah pemain legendaris nasional masih di pelatnas. Seperti Liem Swie King di masa-masa akhirnya, Icuk Sugiarto, dan Hastomo Arbi. Kemudian, dia ikut membidani lahirnya para pemain generasi emas, seperti Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi.
Bahkan, Tong mengantarkan Alan meraih medali emas bulu tangkis di Olimpiade Barcelona 1992. Waktu itu Susi Susanti juga berhasil meraih emas sehingga dijuluki pengantin emas. "Para pemain Indonesia saat itu memang berbeda dengan yang ada sekarang," katanya.
"Secara kualitas mereka lebih baik. Selain itu, saya lihat mereka punya semangat dan kemauan keras untuk menjadi juara," lanjut pria 68 tahun itu. "Filosofi saya sebagai pelatih adalah bukan pelatih yang harus pandai, melainkan pemain sendiri. Tugas pelatih hanya membantu," sambungnya. Pemain terakhir Indonesia yang ditangani adalah Hendrawan yang juga sempat menyabet juara dunia.
Pada 1998 dia memutuskan kembali ke China setelah permohonannya menjadi warga negara Indonesia (WNI) ditolak. "Kenapa itu (penolakan menjadi WNI, Red) diungkit-ungkit lagi. Itu sudah cerita lama," kata pria yang kini menetap di Fuzhou tersebut. "Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata," katanya.
Dia hanya terdiam ketika ditanya apakah masih ingin menjadi WNI. "Saya cukup bahagia dengan posisi saya saat ini. Kalau toh bisa menjadi WNI, sekarang usia saya sudah lanjut," kata suami Li Qing itu, sembari sesekali membenarkan letak topinya.
Meski begitu, dia belum tahu kapan akan pensiun sebagai pelatih. "Saya menikmati peran saya sekarang. Selama saya masih kuat, saya akan terus melatih. Sebab, di usia ini kalau tidak ada kegiatan, malah tidak enak," paparnya.
Di China, Tong tak langsung melatih tim nasional, melainkan menjadi pelatih tim bulu tangkis Provinsi Fujian. Tak lama kemudian, dia melatih timnas Negeri Panda itu. Pada Olimpiade Sydney 2000, dia harus melihat anak didiknya, Xia Xuanze, menyerah di tangan Hendrawan yang pernah dilatihnya.
Namun, Hendrawan hanya meraih perak di Olimpiade itu setelah di final dikalahkan Ji Xinpeng, pemain lain China. Salah satu keberhasilan Hendrawan saat itu berkat arahan Tong Sin Fu. Sebaliknya, keberhasilan Ji Xinpeng mengalahkan Hendrawan "yang kini melatih tim Malaysia" juga berkat sentuhan Tong Sin Fu.
Setelah itu Tong ikut membidani lahirnya para pebulu tangkis andalan China saat ini. Misalnya, Lin Dan, Chen Jin, Bao Chunlai, dan ganda pria Cai Yun/Fu Haifeng. Nama-nama inilah yang beberapa tahun terakhir mendominasi peta persaingan bulu tangkis dunia. Bahkan, selain mengantarkan Lin Dan hat-trick juara dunia, dia berhasil mengantar Super Dan meraih medali emas Olimpiade Beijing tahun lalu.
Tong merupakan salah satu pemain junior Indonesia terbaik di era 1950-an. Pada 1960, dia pergi ke China bersama rekannya, Hou Chia Chang, asal Surabaya. "Saya meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi sambil bermain bulu tangkis," tutur bapak dua anak itu.
Dia meninggalkan orang tua dan tiga saudaranya, yang saat itu tinggal di daerah Pejompongan, Jakarta.
Di China karir bulu tangkis Tong Sin Fu melesat. Hanya dalam lima tahun dia sudah menjadi juara nasional. Gelar itu dikuasai sampai 1975. Hou Chia Cang juga berhasil. Mereka berdua dijuluki Raksasa China karena keperkasaannya.
Sayang, ketika itu pemerintah China tak mengizinkan atlet-atletnya mengikuti turnamen di Eropa atau di negara-negara yang tak sepaham. Akibatnya, nama mereka berdua tidak begitu dikenal secara internasional. Tapi, pers Barat yang mengendus keberadaan mereka menganggapnya sebagai kekuatan tersembunyi. Tong hanya tampil di Ganefo (Games of The New Emerging Forces) 1963 dan 1966. Dia menjadi juara tunggal pria.
Pada 1976, ketika rezim komunis China mulai terbuka dan mengizinkan atlet-atletnya bermain di luar negeri, Tong dan Hou mulai menunjukkan kemampuan. Bahkan, di sebuah laga ekshibisi, Tong berhasil menggilas pemain terbaik Eropa saat itu, Erland Kops, dengan skor sangat telak, 15-0, 15-0. Oleh pers Barat, Tong dijuluki The Thing.
Ketika itu dominasi tunggal pria dunia di tangan Rudy Hartono yang berhasil menjuarai All-England delapan kali. Tapi, Tong maupun Hou tidak sempat ditarungkan dengan jagoan Indonesia itu.
Tong adalah contoh mutiara berharga yang disia-siakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar