Mohamad Guntur Romli
ABRAHAH heran bukan kepalang. Abdul Muthallib, pembesar Mekah yang menemuinya, hanya peduli pada nasib unta yang dirampas penguasa dari negeri Habsyah (Ethiopia) itu, bukan nasib Ka'bah yang hendak dihancurkan. Kata Abrahah, "Mengapa kamu hanya peduli pada dua ratus ekor untamu, tapi tak peduli pada Bait (Ka'bah) yang merupakan agamamu dan agama moyangmu, yang hendak kuhancurkan?" Abdul Muthallib menjawab, "Aku peduli pada nasib unta, karena aku pemiliknya, sedangkan Bait itu punya Pemilik yang akan menjaganya." Inilah sekelumit dialog yang dikisahkan oleh Ibn Hisyam dalam Al-S�rah al-Nabawiyah, satu di antara biografi tentang Nabi Muhammad yang cukup otoritatif.
Kalau zaman sekarang, Abdul Muthallib mungkin akan dituduh egois, pasif, dan "materialistik", hanya peduli pada hartanya, tapi tidak peduli pada agamanya. Namun, di balik sikap itu tersimpan iman Abdul Muthallib yang kuat: bahwa Allah yang menjaga Ka'bah tidak tidur dan akan bertindak. Benar. Setelah itu, datanglah segerombolan burung Ababil yang membawa batu dari neraka dan melempari pasukan gajah Abrahah hingga hancur lebur. Tahun itu dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad.
l l l
SAAT ini kita sedang menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap sebuah undang-undang yang niatnya melindungi agama dari penodaan, yakni Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Namun niat tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. UU ini dalam kehidupan sosial malah ikut menyulut konflik. Contohnya dari rekomendasi penting Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) dalam "Laporan Kebebasan Beragama 2009 di Jawa Barat", yang mendesak pencabutan UU itu. Secara normatif UU tersebut dianggap "tidak selaras dengan semangat konstitusi yang dengan tegas menjamin hak kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan". Melalui UU ini juga ditetapkan pasal 156-a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur ancaman sanksi pidana bagi yang dituduh sebagai "penoda agama".
Melalui temuan INCReS, sepanjang 2009 di Jawa Barat terjadi 10 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatus negara, dan 35 kasus intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan yang dilakukan oleh organisasi massa garis keras yang memakai "jubah Islam". Dalam aksi-aksi kekerasan ditemukan, UU itu dipakai sebagai dalih pembenar untuk menyesatkan, menyapu, hingga menangkap individu dan kelompok yang dituding menodai agama.
Pertanyaannya: mengapa UU ini dianggap mendesak dan darurat untuk dicabut? Benarkah agama tidak butuh aturan yang melindunginya? Dari temuan yang sangat umum kita mencermati tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan malah berlindung di balik UU ini. Karena itu, dugaan yang mengatakan pencabutan UU ini akan menyebabkan konflik horizontal dalam masyarakat merupakan kekeliruan yang berlawanan dengan fakta sosial. Yang terjadi malah sebaliknya, selama ini konflik horizontal yang beraroma agama menggunakan UU ini-khususnya pasal 156-a-sebagai dalih melakukan penyesatan, kekerasan, penangkapan, dan penghakiman sepihak. Logika sederhananya: kalau tidak ingin konflik horizontal terus terjadi dalam masyarakat, UU Nomor 1/PNPS/1965 dan pasal 156-a itu harus dihapus (mans�kh).
Bagaimana UU tersebut bekerja sebagai pemicu, dalih, dan akhirnya vonis yang mengkriminalkan keyakinan? Pertama, dimulai dengan munculnya dugaan pada kelompok yang memiliki ajaran yang dianggap bertentangan dengan "keyakinan umum". Kelompok ini baik yang ada sejak dulu atau benar-benar baru. Contohnya, Syiah dan Ahmadiyah, yang masuk kelompok lama, sedangkan Lia Eden masuk kategori baru. Nah, dengan memakai UU dan pasal 156-a itu, kelompok tersebut dibidik dari sudut penodaan, bukan melalui sudut perbedaan. Keberadaan kelompok "tersangka" ini tidak lagi dipahami sebagai pihak yang keyakinannya dijamin, tapi bisa diancam sanksi pidana. Inilah tahap pertama bagaimana UU tersebut menyuguhkan cara pandang yang keliru dalam melihat perbedaan ajaran yang sebenarnya lumrah terjadi.
Tahap kedua: sebuah kelompok yang telah diidentifikasi sebagai "kelompok kriminal" dari perspektif keyakinan akan dimusuhi dan diupayakan untuk dilenyapkan. Tahap kedua ini adalah sebuah reaksi tindakan yang ditempuh melalui dua cara: pertama, ormas-ormas garis keras akan menindak langsung kelompok itu. Tindakan ini ilegal dan kriminal, tapi mereka selalu memakai dalih UU yang mengkriminalkan kelompok tersebut. Tak jarang ditambah fatwa untuk memperkuat dugaan kriminal. Kelompok "tersangka" pun dihajar dengan aturan negara dan fatwa agama.
Cara kedua: ormas garis keras tidak melakukan tindakan langsung, tapi menekan aparat pemerintah untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, aparat negara biasanya mengambil sikap yang paling "aman" dan "nyaman", karena ormas garis keras biasanya mengancam akan melakukan tindakan langsung kalau aparat tidak turun. Maka, dalam dugaan aparat, lebih baik menciduk kelompok yang kecil dan lemah daripada melawan ormas yang biasanya datang bergerombol dan tak ragu melakukan kekerasan. Di sini aparat negara bukan pelindung bagi warga negara dan kelompok minoritas, melainkan aparatus ormas garis keras yang mengatasnamakan mayoritas. Maka jangan heran kalau aparat negara menempati posisi tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama, seperti yang dilaporkan INCReS.
Tahap ketiga: perbedaan agama dan keyakinan itu diseret ke pengadilan, dan ujung-ujungnya vonis pidana bagi terdakwa. Kerap kali saksi ahli yang dihadirkan ke pengadilan adalah mereka yang juga memulai, melaporkan, atau terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang itu.
Saya masih terheran-heran dengan tuntutan bahwa agama harus dilindungi oleh sebuah peraturan dari negara. Bagi saya, tuntutan ini bersumber dari iman yang krisis dan penuh dengan ketakutan: agamanya takut ternoda, rusak, atau bahkan punah. Tuntutan ini berlawanan dengan klaim absolut mereka tentang agama mereka, yang katanya sempurna, abadi, dan tak lekang oleh zaman. Mereka mengakui agama mereka sempurna, tapi tanpa sadar mengakui pula agama mereka bisa dinodai dan dikurangi.
Saya adalah bagian dari umat yang menegaskan bahwa agama, kepercayaan, dan keimanan yang kami miliki tidak akan bisa dinodai oleh siapa pun dan kapan pun. Apalagi agama yang dimaksudkan adalah agama yang telah berusia tak hanya ratusan tapi ribuan tahun, agama yang telah matang, dewasa, dan kenyal menghadapi tantangan.
Saya juga tak menafikan kelompok atau individu seperti cerita Abrahah, yang ingin "memusnahkan" agama. Kadang mereka memiliki alasan yang bisa dimengerti: menurut mereka, sikap permusuhan pada agama muncul karena agama sering disalahgunakan untuk menebarkan kebencian dan kekerasan. Kalau boleh, saya ingin mengambil tamsil agama dengan lautan. Apakah seseorang atau kelompok yang ingin mengencingi lautan berhasil menodai kemurnian lautan?
Untuk menyikapi kelompok atau individu yang berbuat jahat dengan membawa agama, yang bisa ditindak adalah perbuatan mereka, bukan keyakinan mereka. Seseorang yang menyembah batu, atau meyakini barang pusaka atau jimat bertuah, tidak bisa dikriminalkan karena keyakinan itu. Tapi mereka bisa ditangkap kalau memakai batu sembahan, pusaka, dan jimat mereka untuk mencelakakan orang lain.
Bagi saya, episode yang pernah "menodai" lautan dengan "limbah"-nya yang terbesar adalah modernisme. Periode ini dimulai dengan sikap ingkar terhadap apa yang berasal dari (doktrin) agama, yang akhirnya bisa membuktikan bahwa kemajuan bisa lahir tanpa campur tangan formal agama. Pertanyaannya: apakah agama lantas mati? Justru agama berkembang sangat pesat. Agama sebagai spirit tetap berfungsi seperti ulasan Max Weber, yang menyatakan pengaruh etika Protestan dalam kapitalisme, tapi bukan doktrin formal Protestan. Di Amerika kita sering memperoleh laporan tentang kebangkitan Kristen. Dan akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sering dipahami sebagai kebangkitan semua agama di dunia, dari agama-agama besar hingga ajaran spiritual.
Agama juga bukan seperti satwa liar yang hutannya telah punah sehingga harus dilindungi. Bukan pula seperti candi, kuil, dan bangunan kuno lainnya yang kehilangan daya sihirnya sehingga tidak dipedulikan, maka perlu dirawat secara khusus dalam "cagar alam" dan "cagar budaya" yang dijamin oleh peraturan. Padahal agama terus hadir dalam kehidupan ini, lembaga-lembaga keagamaan: pendidikan, pesantren, syiar, penerbitan, ormas, film, musik, dan lain-lain semakin tumbuh dan tidak menunjukkan perlunya sebuah "cagar agama". Yang perlu diwaspadai sebenarnya bukan agama yang bisa dinodai atau akan punah, tapi "overdosis" agama yang sering dibawa pada penyebaran kebencian, kekerasan, dan terorisme.
Dari penelusuran sejarah ini bisa disimpulkan, agama tak bisa dinodai dan dibunuh. Rahasia ketahanan agama ini bukan karena ia dijaga oleh undang-undang yang memberikan sanksi pidana kepada kelompok yang dianggap menodainya, melainkan karena diberikan kebebasan kepada umat untuk mengembangkan agamanya dalam pemikiran, perayaan, dan kebudayaan sehingga agama terus langgeng. Agama tak akan punah selama ia mampu bersanding dengan kemaslahatan manusia.
Karena itu, bagi saya, peraturan yang beriktikad-meskipun baik-ingin melindungi agama merupakan kesia-siaan. Bahkan peraturan ini telah dijadikan dalih pelanggaran. Peraturan itu dijadikan pembenaran bagi seorang saudara untuk menikam saudaranya yang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Seharusnya peraturan itu lebih ditujukan pada perlindungan manusia yang menganut agama, bukan pada agama yang menurut keyakinan pemeluknya telah dijamin keabadiannya. Seperti Abdul Muthallib, kakek Nabi Muhammad, yang menyerahkan urusan agama (Ka'bah sebagai Bait Allah) kepada Pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar